PBNU: Beri Ucapan Natal Diniatkan Ukhuwah tak Ganggu Akidah
Pena Indonesia.co.id – Memberi ucapan selamat natal oleh umat Islam masih menjadi perdebatan dikalangan Nadhiyin. Sebagian pihak melarang mengucapkannya dengan alasan agar tidak merusak akidah. Namun, ada sebagian ada yang berpendapat membolehkannya.
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Robikin Emhas, menjelaskan ulama-ulama memiliki beberapa pendapat tentang ucapan selamat natal oleh Muslim kepada non-Muslim. Ia menuturkan, ada ulama yang melarang karena khawatir itu mengganggu akidah.
Namun, ada Sebagian ulama lain, menurutnya, ada yang membolehkan dengan pengertian ucapan natal sebagai bagian dari kesadaran bermuamalah. Di sini, Robikin menjelaskan ucapan natal itu diniatkan sekadar hormat kepada kawan atau berempati kepada sesama warga bangsa. Hal demikian dimensinya ukhuwah wathaniyah.
Dilansir dari Republik.co.id, “Dalam dimensi itu, menyampaikan ucapan natal saya kira tidak mengganggu akidah kita. Dalam konteks ini saya setuju pendapat ulama asal Mesir Syekh Yusuf Qaradhawi,” kata Robikin, Sabtu (21/12) malam WIB.
Menurut al Qaradhawi, boleh atau tidaknya ucapan selamat natal dari Muslim kepada Nasrani itu dikembalikan kepada niatnya. Kalau berniat hanya untuk menghormati atau berempati kepada teman yang nasrani, Robikin menyebut hal itu tidak menjadi masalah.
Sebab, kata dia, Indonesia merupakan negara majemuk. Apalagi, jika ucapan natal itu dimaksudkan sebagai ungkapan kegembiraan atas kelahiran Nabi Isa sebagai rasul.
Dalam hal ini, ia menekankan pada dua hal. Pertama, soal prinsip kebinekaan. Dalam konsep kebinekaan, yang menjadi pilar kebangsaan, kemajemukan dalam masyarakat adalah sumber kekuatan utama bangsa Indonesia. Hal ini, menurutnya, menjadi awal dari bingkai dasar yang harus diinsyafi.
Kedua, terkait prinsip toleransi. Hidup di tengah masyarakat yang majemuk mensyaratkan pentingnya sikap lemah lembut, berlaku baik, saling menghormati, dan saling menghargai. Sikap yang mengedepankan pendekatan kemanusiaan semacam ini kemudian yang dikonsepsikan sebagai sikap toleransi.
“Kalau kita belajar sejarah mengenai akar kebudayaan bangsa kita, saya bisa katakan toleransi merupakan bagian inheren dalam jati diri bangsa Indonesia. Kehidupannya ada dalam jiwa Bhinneka Tunggal Ika,” ujarnya.
Ia menuturkan sikap toleran demikian terpatri dalam jati diri bangsa Indonesia. Sebab, menurutnya, toleransi sesungguhnya juga merupakan bagian inheren dari ajaran agama Islam. Islam mengenal konsep tasamuh yang juga sering diterjemahkan sebagai sikap toleransi.
Secara umum sebagai sebuah ajaran, ia mengatakan sikap toleran itu memiliki penjelasan dan petunjuknya. Dalam hidup bermasyarakat, orang harus sama-sama berlaku baik, lemah lembut, saling pemaaf, menghargai, dan lainnya. Akan tetapi, kata dia, agama telah memberikan panduan bagaimana berlaku baik dan bersikap lemah lembut.
Persoalan natal menurutnya juga didasarkan pada prinsip umum yang tidak boleh dilangkahi dalam menerapkan prinsip toleransi. Di dalam Islam, ada ayat Alquran yang menyatakan ‘Lakum diinukum wa liya diin‘, yang artinya ‘bagi kalian agama kalian, bagi kami agama kami’. Dengan demikian, jika itu sudah menyangkut akidah, ia menegaskan hal itu tidak boleh dipertukarkan.
Dalam sejarah Islam, dikisahkan suatu ketika beberapa orang kafir Quraisy menemui Nabi Muhammad SAW. Mereka menawarkan ide untuk saling bertoleransi kepada Nabi SAW.
Mereka berkata, “Wahai Muhammad, bagaimana jika kami beribadah kepada Tuhanmu, dan kalian juga beribadah kepada Tuhan kami. Kita bertoleransi dalam segala permasalahan agama kita. Apabila ada sebagaian dari ajaran agamamu yang lebih baik dari tuntunan agama kami, maka kami akan amalkan hal itu. Sebaliknya, apabila ada dari ajaran kami yang lebih baik dari tuntunan agamamu, engkau juga harus mengamalkannya.” Ketika itu, turunlah ayat dalam surah al Kafirun, yang berbunyi, “Qul yaa ayyuhal kaafiruun. Laa a’budu maa ta’buduun” dan seterusnya.
“Jadi, toleransi itu dimensinya ukhuwah basyariyah, persaudaraan kemanusiaan. Bukan ranah teologis. Kita cukup dengan menghargai apa yang umat agama lain lakukan dengan membiarkannya dan tidak berbuat keributan. Biarkanlah mereka lakukan apa yang mereka yakini, sedang kita fokus pada apa yang kita yakini. Itu intinya,” tambahnya.
Ia menambahkan bahwa dengan panduan dan batasan seperti itu, momentum natal bisa menjadi ajang mempererat dan mengikat kembali tali kebangsaan. Akan tetapi, kata dia, tentu tidak sebatas ucapan selamat natal. Ia mengatakan lebih setuju dan mengimbau kepada semua pihak diantara para pemeluk agama yang berbeda untuk membuka ruang dialog antar-umat.
“Ruang-ruang dialogis seperti ini saya kira penting untuk terus menguatkan tali persatuan kita. Meskipun berbeda keyakinan, bukankah kita tetap bersaudara dalam kemanusiaan,” katanya.